makalah antropologi agama
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Antropologi
Agama atau yang bisa di sebut juga Antropologi Religi merupakan ilmu yang
berusaha mempelajari tentang manusia yang menyangkut agama dengan pendekatan
budaya. Walaupun ada yang berpendapat ada perbedaan antara pengertian agama dan
religi menurut pengertian Antropologi Budaya, namun kedua istilah tersebut
mengandung arti adanya hubungan antara manusia dengan kekuasaan yang ghaib
(Perhatikan Kusnaka 1983: 49).
Buah fikiran
dan perilaku manusia tentang keagamaan dan kepercayaan itu pada kenyataannya dapat di lihat dalam wujud dan
tingkah laku dalam acara dan upacara-upacara tertentu menurut tata cara yang di
tentukan dalam agama tidaklah mendekati agama itu sebagaimana dalam teologi
(ilmu ketuhanan), yaitu ilmu yang menyelidiki wahyu tuhan.
Dengan demikian
memahami islam yang telah berproses dalam sejarahdan budaya tidak akan lengkap
tanpa memahami manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realtias
kemanusiaan yang mengejawantahkan dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna
hakiki dari keberagamaan adalah terletak pada interprestasi dan pengalaman
agama. Oleh karena itu, antropologi sangat di perlukan untuk memahami islam sebagai
alat untuk memahami islam sebagai alat untuk memahami realtias kemanusiaan dan
memahami islam yang di praktikkan, dan islam yang menjadi gambaran sesungguhnya
dari keberagamaan manusia.
Kajian
antropologi juga memberikan fasilitas bagi kajian islam untuk lebih melihat
keragamaan pengaruh budaya dalam praktik islam. Pemahaman realitas nyata dalam
sebuah masyarakat akan menemukan suatu kajian islam yang lebih empiris. Kajian
agama dengan cross-culture akan memberikan gambaran yang variatif tentang
hubungan agama dan budaya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian
Antropologi Agama?
2. bagaimanai sejarah dari
dari Antropologi Agama?
3. Apa saja yang menjadi
Objek dalam Antropologi Agama?
4. Bagaimana Pendekatan
dalam Antropologi Agama?
5. Mengapa kita harus
mempelajari Antropologi Agama?
6. Apa Itu Agama?
7. Bagaiamana Teori-Teori
Agama itu?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Antropologi
Agama
Untuk mengetahui rukun
dan syarat dalam wakaf Antropologi
Agama atau yang bisa di sebut juga Antropologi Religi merupakan ilmu yang
berusaha mempelajari tentang manusia yang menyangkut agama dengan pendekatan
budaya.Walaupun ada yang berpendapat ada perbedaan antara pengertian agama dan
religi menurut pengertian Antropologi Budaya, namun kedua istilah tersebut mengandung
arti adanya hubungan antara manusia dengan kekuasaan yang ghaib (Perhatikan
Kusnaka 1983: 49).[1]
Dengan demikian
Antropologi Agama tidaklah mendekati agama itu sebagaimana dalam “Teologi”
(ilmu ketuhanan), yaitu ilmu yang menyelidiki wahyu tuhan. Misalnya dalam
teologi kristen dimana teologi itu di bedakan dalam “Theologica systematica”
yang menguraikan tentang dogmatik, etika, dan filsafat agama, Theologica
Historica yang menguraikan tentang kitab suci, sejarah gereja, sejarah dogma,
dan sejarah agama dan Thelogica Practica yang menguraikan tentang Homeletik,
ketechetik dan liturgik.[2]
B.
Latar Belakang Sejarah Antropologi Agama
Perhatian
manusia terhadap sikap dan perilaku keagamaan sudah berabad-abad lamanya, yaitu
sejak orang-orang barat berkelana dan mencekeramakan pengaruh kolonialisme dan
imperialismenya di dunia timur. Di antara mereka yang tertarik tersebut di
dalam karangannya mengenai “etnografi” tergambar tentang sikap perilaku adat
dan keagamaan dari suku-suku bangsa sederhana. Maka dari itulah mereka tertarik
di karenakan apa yang mereka bandingkan dengan sikap perilaku dan
upacara-upacara keagamaan (kristen) yang mereka anutTanggapan aneh tersebut
menimbulkan pertanyaan, apakah sikap perilaku keagamaan masyarakat sederhana
itu adalah bentuk-bentuk keagamaan yang ada kemudian apakah sudah lebih maju,
seperti halnya dengan agama Hindu-Budha, Agama Kristen-Katolik, dan Agama
islam. Tanggapan kearah asal mula dari unsur-unsur universal tentang agama,
seperti mengapa manusia percaya kepada adanya kekuasaan ghaib, mengapa pula
manusia bersikap dan berperilaku dengan berbagai cara dan upacara yang
bermacam-macam dalam ia berhubungan dengan kekuasaan ghaib. Perhatian yang
demikian itu akhirnya memasuki dunia ilmiah, dalam usaha para sarjana untuk
mencari tahu tentang asal mula agama.
Para sarjana
yang tertarik mengolah lebih lanjut tentang keagamaan primitif itu lalu
berpendapat bahwa agama atau religi dan kepercayaan kuno itu adalah sisa-sisa
dari bentuk agama purba yang di anut oleh seluruh umat manusia ketika budayanya
masih sederhana. Jadi gambaran tentang keagamaan purba dari masyarakat
sederhana itu bukan saja terdapat di dunia timur tetapi juga di Eropa ketika
masyarakatnya masih hidup sederhana.[3]
Dari
bahan-bahan etnografi keagamaan yang dapat di kumpulkan dan di pelajari oleh
para ahli, maka di antara para sarjana ada yang berusaha menyusun teori asal
mula agama. Di antara mereka yang menyusun teori tentang asal mula agama
tersebut terdiri dari beragai ahli, yaitu para ahli filsafat, para ahli
sejarah, sarjana-sarjana filologi yamh ahli meneliti naskah-naskah kuno denan
bahasa-bahasa kuni, dan sebagainya.[4]
C.
Objek Kajian Antropologi Agama
Objek yang
dikaji oleh berbagai cabang dan ranting ilmu di bedakan oleh Poedjawijatna
kepada objek materia dan objek forma (1983). Objek materia ialah apa yang di
pelajari oleh suatu ilmu. Ilmu sosial misalnya mempelajari masyarakat. Sosio;ogi
dan antropologi sama-sama mengkaji masyarakat, tetapi sudut tinjauan atau
formanya berbeda. Jadi kalau sosiologi misalnya dari sudut struktur sosialnya,
sedangkan antrpologi dari sudut budaya tersebut. Agama yang di pelajari oleh
antropologi adalah agama sebagai fenomena budaya, tidak aa ajaran agama yang
datang dari tuhan. Maka yang menajdi perhatian adalah beragamanya manusia dan
masyarakat. Sebagai ilmu sosial, antropologi tidak membahas salah benarmya
suatu agama dan segenap perangkatnya, ritual, dan kepercayaan kepada yang
sakral.
Harsojo
mengungkap bahwa kajian antropologi agama dari dahulu sampai sekarang meliputi
empat masalah pokok, yaitu : (1) dsar-dasar Fundamental dari agama dan
tempatnya dalam kehidupan manusia, (2) bagaimana manusia yang hidup
bermasyarakat memenuhi kebutuhan religius mereka (3) dari mana asal usul agama,
dan (4) bagaimana manifestasi perasaan dan kebutuhan religius manusia (Harsojo
1982:248).[5]
D.
Pendekatan Antropologi Agama
Sebagaimana
telah di kemukaan bahwa yang menjadi objek studi dalam Antropologi agama adalah
manusia dalam kaitannya dengan agama, yaitu bagaimana pikiran sikap dan pelaku
manusia dalam hubungannya dengan yang ghaib.
Dalam hal ini
ada beberapa cara yang dapat di gunakan untuk studi antropologi agama, yaitu
mempelajarinnya dari sudut ajarannya yang bersifat Historis, normatif,
deskriptif, empiris. Keempat cara tersebut dapat saling bertautan dan saling
mengisi yang satu dan yang lain.[6]
1.
Metode Historis
Dengan metode
yang bersifat sejarah yang di maksud ialah menelusuri pikiran dan perilaku
manusia tentang agamanya yang berlatar belakang sejarah, yaitu sejarah
perkembangan ‘budaya agama’ sejak masyarakat manusia masih sederhana budayanya
sampai budaya agamanya yang sudah maju. Dan dari sini kita bisa lihat mengapa
banyaknya timbul perbedaan paham dan penafsiran terhadap ajaran-ajaran agama,
sehingga dari berbagai agama lahir aliran paham (madzhab) yang berbeda-beda.
Begitu pula tentang waktu, tempat dan latar belakang sejarah terjadinya
bangunan (rumah) ibadah, dan tempat-tempat suci, tempat-tempat pemujaan, yang
bentuk dan bercorak ragam mulai dari yang sederhana hingga bentuknya yang
modern.[7]
2.
Metode Normatif
Dengan metode
normatif dalam studi Antropologi Agama di maksudkan mempelajari norma-norma
(kaidah-kaidah, patokan-patokan, atau sastra-sastra suci agama, maupun yang
merupakan perilaku adat kebiasaan yang tradisional yang berlaku, baik dalam
hubungan manusia dengan alam ghaib maupun dalam hubungan antara manusia yang
bersumber dan berdasarkan ajaran agama masing-masing.[8]
3.
Metode Diskriptif
Dengan metode
deskriptif di dalam studi Antropologi Agama di maksudkan ialah berusaha
mencatat, melukiskan, menguraikan, melaporkan tentang buah fikiran sikap tindak
dan perilaku manusia yang menyangkut agama dalam kenyataan yang implisit. Dalam
penggunaan metode ini tentang kaidah0kaidah ajaran agama yang eksplisit
tercantum dalam kitab-kitab suci dan kitab-kitab ajaran agama yang di
kesampingkan. Jadi titik perhatian bukan di tunjukan terhadap ketentuan aturan
keagamaan yang ideologis, yang di kehendaki dan harus berlaku, namun titik
perhatian terutama di tujukan terhadap fakta-fakta dari berbagai peristiwa yang
namqpak sesungguhnya yang berlaku dalam kehidupan masyarakat.[9]
4.
Metode Empiris
Dengan metode
ini Antropologi Agama mempelajari pikiran dan perilaku agama manusia yang di
ketemukan dari pengalaman dan kenyataan di lapangan. Artinya yang berlaku
sesungguhnya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, dengan mentikberatkan
perhatian terhadap kasus-kasus kejadian tertentu (metode kasus). Dan dalam hal
ini si peneliti di tuntut langsung atau tidak langsung melibatkan diri dalam
peristiwa-peristiwa yang terjadi.[10]
E.
Pentingnya Kajian Antropologi Agama
Kegunaan
pengetahuan ilmiah, selain untuk mengetahui sesuatu yang belum di ketahui, juga
untuk dapat menentukan sikap yang tepat dalam berhadapan dengan sesuatu yang
telah di teliti itu sehingga apa yang di inginkan dapat di capai dengan
efisien.
Sebagai hasil
ilmiah, sebagai kajian kenapa suatu fenomena terjadi antropologi agama dapat di
manfaatkan oleh siapa saja, baik oleh yang tidak senang terhadap berkem bangnya agama tersebut, maupun oleh pemuka
agama yang bersangkutan. Sama seperti penemuan energi atom . teori energi atom
dapat di pakai untuk kebaikan, seperti pembangkit tenaga listrik, maupun untuk
kejahatan, seperti untuk bom atom yang akan memusanahkan uma manusia dan
makhluk hidup lainnya. Menjajah indonesia suatu bangsa yang tinggal di negara
kecil menjajah negara yang demikian besar di antaranya adalah karena penjelasan
yang demikian terperinci tentang masyarakat indonesia yang di hasilkan oleh
penelitian antropologi.
Pendidikan
agama, selain memerlukan pengetahuan antropologis dari kelompok yang akan di
didik atau peserta didik juga di perlukan pengetahuan yang memadai tentang
psikologi peserta didik. Jadi kalau antropologi menempatkan suatu kelompok
masyarakat dengan budaya yang sama ataupun yang berbeda dengan kelompok budaya
lain, psikologi memandang seseorang atau individu berbeda dari individu yang lain
karena berbagai faktor fisik dan non-fisik, bawaan, dan binaan, individu dan
lingkungan. Antropologi pun memerhatikan pula faktor psikologis ini yang khusus
di pelajari dalam antropologi psikologi.
Kalau dakwah
dan pendidikan agama saja ternayta memerlukan hasil kajian antropologis,
apalagi usaha pembangunan masyarakat dan negara yang mencakup berbagai aspek
kehidupan dan di tunjukan kepada rakyat yang multisuku bangsa dengan
multibudaya dan agama sangat memerlukan informasi dari hasil penelitian antropologi
termasuk antropologi agama. Sebab, pandangan dan perilaku masyarakat banyak di
pengaruhi oleh ajaran dan komunitas agamanya yang membutuhkan hasil studi
tentang agama secara antropologis, bukan saja negara agana atau negara yang mementingkan pembinaan kehidupan beragama,
tetapi juga negara sekular pun memerlukannya untuk dapat menentukan cara
mengahadapi masyarakat dengan efektif, efisien, da halus.[11]
F.
Istilah Agama
Pada umumnya di
indonesia di gunakan istilah ‘agama’ yang sama artinya dengan istilah asing
‘religie’ atau ‘ godsdienst’ (belanda) atau ‘religion’ (inggris). Istilah
‘agama’ berasal dari bahasa sansekerta yang pengertiannya menunjukan adanya
kepercayaan manusia berdasarkan wahyu dari tuhan. Dalam arti linguistik kata
agama berasal dari suku kata A-GAM-A, kata ‘A’ berarti tidak, kata ‘GAM’
berarti ‘pergi’ atau ‘berjalan’, sedangkan kata akhiran ‘A’ merupakan kata
sifat yang menguatkan yang kekal. Jadi istilah ‘Agam’ atau ‘agama’ berarti
;tidak pergi’ atau ‘tidak berjalan’ alias ‘tetap’ (kekal, eternal), sehingga
pada umunya kata A-GAM atau AGAMA mengandung arti pedoman hidup yang kekal
(Hassan Shadily, Ensiki. 1980-105)[12].
G.
Teori Asal Mula Agama
Banyak pendapat
para ahli tentang asal mula agama itu sebagaimana di kemukakan koentjaraningrat
adalah ahli sejarah C. De Brosses (1769), ahli Filsafat August Comte (1850),
ahli filologi F.Max Muller (1880), dan
lainnya. Kemudian barulah muncul teori-teori dari para ahli Antropologi seperti
E.B. Taylor (1880), R.R. Marett (1909), J.G. Frazer (1890),
E. Durkheim
(1912), dan W.Schmidt (1921) (Koetjaraningrat 1966: 207-208). Dari teori-teori
mereka ini orang berpendapat bahwa perkembangan agama it mulai dari Animisme,
Dinamisme, Politeisme dan baru kemudian Monoteisme.[13]
1.
Teori Tylor
Sarjana yang di
anggap pertama kali mengemukakan pendapat bahwa asal mula dari agama adalah
‘Animisme’ (paham tentang roh atau jiwa) ialah sarjana antropologi inggris E.B.
Tylor dalam bukunya “Primitive Culture’ Researches into the Development of
Mythology, Philosophy, Religion, Langguage, Art and Custom’ (1873). Ia
berpendapat bahwa asal mula agama adalah kepercayaan manusia tentang adanya
‘jiwa’ . mengapa manusia sederhana itu menyadari tentang adanya jiwa atau roh,
dikarenakan yang nampak dan di alaminya sebagai berikut:
a.
Peristiwa Hidup dan Mati
Bahwa adanya
hidup karena adanya gerak, dan gerak itu terjadi karena adanya ‘jiwa’. Selama
jiwa itu ada dalam tubuh maka nampak tubuh itu bergerak, apabila jiwa utu lepas
dari tubuh berarti mati dan tubuh tidak bergerak lagi.
b.
Peristiwa Mimpi
Bahwa ketika
manusia itu tidur atau pingsan ia mengalami mimpi dimana tubuh itu diam dan
masih ada gerak (nafas), tetapi ia tidak sadar karena sebagian dari jiwanya
lepas dan gentayangan ke tempat lain sehingga jiwa yang terlepas itu bertemu
dengan jiwa yang lain, baik jiwa manusia yang masih hidup atau yang sudah mati,
mungkin juga dengan jiwa makhluk jiwa yang lain. Kemudia setelah jiwa itu
kembali dalam tubuh maka ia menjai sadar, ingat dan gerak kembali.
Jadi, oleh
karena itu tidak semua manusia mempunyai kemampuan untuk berhubungan, bergaul,
dan berbicara dengan roh-roh halus. Maka muncullah manusia yang mampu untuk
itu, yang disebutkan dukun-dukun, orang-orang keramat, orang-orang suci, para
ahli sihir dan lainnya.[14]
2.
Teori Marett
R.R. Marett seorang
sarjana antropologi inggris di dalam bukunya ‘The Thereshold Of Religion’
(1909), berarti setelah 36 tahun teori Animisme berkembang, berpendapat bahwa
bagi masyarakat yang budayanya masih sangat sederhana belum mungkin dapat
berfikir dan menyadarinya tentang adanya ‘jiwa’. Menurut Marett kepercayaan
terhadap adanya yang supernatural itu sudah ada sejak sebelum manusia menyadari
adanya roh-roh halus (anismisme). Oleh karenanya teori Marett ini sering di
katakan pula Prae-animisme.[15]
3.
Teori Frazer
Sarjana
Antropologi Inggris yang lain yang juga mengemukakan pendapatnya tentang asal
mula agama adalah J.G. Frazer dalam bukunya ‘The Golden Bough a Study in Magic
and Religion’ (1890). Ia berpendapat bahwa manusia itu dalam memecahkan
berbagai masalah dalam kehidupannya dengan menggunakan sistem pengetahuan.
Menurut Frazer
pada mulanya manusia itu hanya menggunakan magic untuk mengatasi masalah yang
berbeda di luar batas kemampuan akalnya, kemudian di karenakan ternyata
usahanya dengan magic tidak berhasil maka mulailah ia percaya bahwa alam
semesta ini didiami oleh para makhluk halus, roh-roh halus yang lebih berkuasa
dari padanya.
Dalam
mempelajari Magi itu dari segi Antropologi perlu di perhatikan antara lain
sebagai berikut:
a.
Siapa orang yang
melaksanakan atau memimpin pelaksanaan secara acara dan upacara magic itu.
b.
Bagaimana cara dan upacara magic itu di lakukan dan di tempat yang
bagaimana.
c.
Alat-alat apa saja yang digunakannya melakukan upacara itu, dan
bagaimana caranya menggunakannya.
d.
Ucapan atau kata-kata apa yang di gunakannya dalam membaca mentera,
atau do’a dan sebagaimana.
e.
Jika diramu bahan obat, dari bahan apa dan dan bagaimana cara
meramunya, dan untuk pengobatan apa.[16]
4.
Teori Schmidt
Sarjana
antropologi Austria W.Schmidt juga mengemukakan teori tentang asal mula agama,
antara lain dalam bukunya ‘Die Uroffenbarung ais Anfang der Offenbarungen
Gottes’ (1921) yang berbeda dari Tylor. Schmidt mengemukakan bahwa
‘monotheisme’, kepercayaan terhadap adanya satu Tuhan, sesungguhnya bukan
penemuan baru tetapi juga sudah tua.
Jadi, hanya
karena tangan-tangan manusialah yang menyebabkan kepercayaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa itu menjadi rusak, di pengaruh oleh berbagai bentuk pemujaan kepada
makhluk-makhluk halus, kepada roh-roh dan dewa-dewa, yang di ciptakan oleh akal
pikiran manusia sendiri.[17]
5.
Teori Durkheim
Salah satu di
antaranya ialah E.Durkheim seorang sarjana filsafat dan sosiologi bangsa
prancis, yang juga mengemukakan teorinya tentang asal mula agama dalam bukunya
‘Les Formes Elementarires de la Vie Religieuse’ (1912).
Menurut
Durkheim bahwa dasar-dasar dari adanya agama itu adalah sebagai berikut:
a. Bahwa yang menjadi sebab adanya dan berkembangnya kegiatan
keagamaan pada manusia sejak ia berada di muka bumi adalah di karenakan adanya
suatu ‘getaran jiwa’ yang menimbulkan ‘emosi keagamaan’. Timbulnya getaran jiwa
itu di karenakan rasa sentimen kemasyarakatan berupa rasa cinta, rasa bakti,
dan lainnya di dalam kehidupan masyarakatnya.
b. Rasa sentimen kemasyarakatan itulah yang menyebabkan timbulnya
emosi keagamaan, sebagai pangkal tolak dari sikap tindak dan perilaku
keagamaan. Jadi salah satu cara mengobarkan sentimen kemasyarkatan itu ialah
dengan mengadakan pertemuan-pertemuan yang besar.
c. Emosi keagamaan yang timbul karena rasa sentimen kemasyarakatan
itu membutuhkan adanya maksud dan tujuan. Misalnya karena adanya peristiwa
kebetulan yang di alami dalam sejarah kehidupan masyarakat di masa lampau
menarik perhatian banyak orang dalam masyarakat itu.
d. Objek yang sakral biasanya
merupakan lambang dari masyarakat. Misalnya pada suku-suku pribumi di Australia
yang menjadi objek yang sakral berupa sejenis binatang, tumbuh-tumbuhan atau
benda tertentu yang di sebut ‘Totem’.
Menurut
Durkheim pengertian tentang ‘emosi’ keagamaan dan ‘sentimen kemasyarakatan’
sebagaimana di kemukakan di atas adalah pengertian dasar yang merupakan inti
dari setiap agama sedangkan kegiatan berhimpunnya masyarakat, kesadaran
terhadap tujuan atau objek yang sakral yang bertentangan dengan sifat duniawi
(profane) serta totem sebagai perlambang masyarakat, adalah bertujuan untuk
mempertahankan kehidupan emosi keagamaan dan sentimen kemasyarakatan. Untuk
memenuhi tujuan tersebut maka di laksanakan bentuk upacara, kepercayaan dan
mythologi (ilmu tentang cerita-cerita kuno). Ketiga unsur ini menentukan bentuk
lahir dari suatu agama didalam masyarakat tertentu, yang menunjukkan ciri-ciri
perbedaan yang nyata dari berbagai agama di dunia.
H. Sosiologi Agama
Pengertian
sosiologi Agama
Mennurut Emile Durheim adalah suatu ilmu
yang mempelajari
Fakta-fakta sosial, yakni fakta yang
mengandung csra bertindak, berfikir, berperasaan yang berada diluar individu
dimana fakta-fakta tersebut memiliki kekuatan untuk mengendalikan individu. Sosiologi
secara umum adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat secara
empiris untuk mencapai hukum kemasyarakatan yang seumum-umumnya. Sosiologi
dapat diartikn sebagai ilmu tentang perilaku sosial ditinjau dari kecenderungan
individu dengan individu lain, dengan memperhatikan symbol-simbol interksi.[18]
Pengertian
agama secara mendasar adalah suatu system peraturan yang mengatur hubungan
antara manusia dengan alam ghoib khususnya hubungan dengan Tuhannya, mengatur
hubungan dengan manusia, dan dengan alam lingkungannya.[19]
Sosiologi agama adalah study fenomena
sosial, dan memandang agama sebagai fenomena sosial. Sosiologi agama selalu
berusaha untuk menemukan prinsip-prinsip umum mengenai hubungan agama dengan
masyarakat. Sosiologi agama adalah suatu cabang sosiologi umum yang mempelajari
masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keteranan ilmiah
dan pasti, demi kepentigan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas
pada umumnya.[20]
Sejarah
Sosiologi Agama
Awal mula
perkembangan sosiologi yaitu saat terjadinya revolusi prancis dan revolusi
industry yang terjadi sepanjang abad ke-19, kemudian Harbert Spencer
mengembangkan suatu sistematika penelitian masyarakat dalam bukunya yang
berjudul principles of sociology sehingga kurang lebih setengah abad, kemudian
sosiologi menjadi berkembang pesat dan popular di Prancis, Jerma dan Amerika
S.perkembangan sociology yang semakin mantap terjadi pada tahun 1895 yakni pada
saat Emile Durhaim menerbitkan bukunya yang berjudul Rulles of sociologykal
metoth.
Memasuki
abad ke -20 perkembangan sociology makin variatif. Dipelopori oleh tokoh-tokoh
ilmu sosial kontemporer, teruatama Anthony Giddens, pada era tahun 2000an ini,
perkembangan sociology semakin mantap dan kehadirannya diakui dan banyak pihak
yang memberikan sumbangan yang tersebut sangat penting bagi usaha pembangunan
dan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Sociology di
Indonesia sudah ada sejak terdahulu, pada awalnya yaitu sebelum perang dunia
ke-2 hanya dianngap sebagai ilmu pembantu bagi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.
Ki Hajar Dewantara yang dikenal sebagai peletak dasar pendidikan nasional
Indonesia banyak memperaktikkan konsep-konsep penting sociology seperti
kepemimpinan dan kekeluargaan dalam proses pendidikan di taman siswa yang
didirikannya.
Setelah
proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 45, sociology di Indonesia mengalami
perkembangan yang cukup signifikan. Orang Indonesia yang pertama kali
memberikan kuliah sosiologi dalam bahasa Indonesia yaitu Soenaryo Kolopaking
pada than 1948 diakademik ilmu politik Jogjakarta. Pada saat itulah sosiologi
mulai mendapat tempat dlam insane akademisi di Indonesia apalagi setelah
terbukanya kesempatan bagi masyarakat Indonesia yang khusus memperdalam
sociology diluar negeri, kemudia mengajarkan ilmu itu di Indonesia.
Ruang
lingkup Sosiologi agama
Sosiologi
agama menjadi didiplin ilmu tersendiri sejak munculnya karya weber dan
Durkheim. Jika tugas dari sosiologi umum adalah untuk mencapai hukum
kemasyarakatan umum, maka tugas dari sosiologi agama adalah untuk mencapai
keterangan-keterangan ilmiah tentang agama khususnya. Jika teologi mempelajari
agama dan masyarakat agama dari segi supra natural, maka sosiologi agama
mempelajarinya dari sudut empiris sosiologis. Menurut Keith A. Robert, sasaran
kajian sosiologi agama adalah sebagai berikut:
1. Kelompok-kelompok dan lembaga keagamaan,
yang meliputi pembentukannya dalam pemeliharaan dan pembaharuan.
2. Perilaku individu dalam kelompok yang
mempengaruhi status keagamaan dan ritual.
3. Konflik antar kelompok misalnya, katholik
lawan protestan, Kristen dengan islam dan sebagainya. Bagi sosiolog,
kepercayaan adalah salah satu bagian kecil dari aspek agama yang menjadi
perhatiannya.
Adapun karakteristik pendekatan sosiologis meliputi:
1. Stratifikasi sosial
2. Kategori bio sosial
3. Pola organisasi sosial
4. Proses sosial.
Fungsi Sosiologi Agama
1. Membantu dalam mengatasi kesulitan yang
muncul dalam masyarakat serta menunjukkan cara-cara ilmiah untuk perbaikan dan
pengembangan masyarakat.
2. Membantu para pemimpin agama dalam
mengatasi masalah-masalah sosial religious yang tidak kalah beratnya dengan
masalah non keagamaan.
3. Membantu dalam menghindari konflik antar
agama
4. Mengajarkan masyarakat untuk mengenal
pendidikan multicultural.
Jenis-jenis sosiologi agama
1. Aliran klasik
2. Aliran positifisme
3. Aliran teori konflik
4. Aliran fungsionalisme.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Antropologi
Agama atau yang bisa di sebut juga Antropologi Religi merupakan ilmu yang
berusaha mempelajari tentang manusia yang menyangkut agama dengan pendekatan
budaya. Walaupun ada yang berpendapat ada perbedaan antara pengertian agama dan
religi menurut pengertian Antropologi Budaya, namun kedua istilah tersebut
mengandung arti adanya hubungan antara manusia dengan kekuasaan yang ghaib
(Perhatikan Kusnaka 1983: 49).
Dengan demikian
Antropologi Agama tidaklah mendekati agama itu sebagaimana dalam “Teologi”
(ilmu ketuhanan), yaitu ilmu yang menyelidiki wahyu tuhan. Misalnya dalam
teologi kristen dimana teologi itu di bedakan dalam “Theologica systematica”
yang menguraikan tentang dogmatik, etika, dan filsafat agama, Theologica
Historica yang menguraikan tentang kitab suci, sejarah gereja, sejarah dogma,
dan sejarah agama dan Thelogica Practica yang menguraikan tentang Homeletik,
ketechetik dan liturgik.
B.
Saran
Penulis
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, penulisan senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan
serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi
perbaikan makalah berikutnya.
[1] Hilman
Hadikusuma, Antropologi Agama, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993),
hal.9.
[3] Harsojo, Pengantar
Antropologi, ( Bandung: Penerbit Binacipta, 2000), hal. 247.
[5]Bustanuddin
Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia Pengantar Antropologi Agama,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2006), hal. 17-20.
[7] Hilman
Hadikusuma, Antropologi Agama, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993),
hal. 12.
[11] Bustanuddin
Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia Pengantar Antropologi Agama,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2006), hal.39-44
[12] Hilman
Hadikusuma, Antropologi Agama, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993),
hal.16-17
[13] Hilman
Hadikusuma, Antropologi Agama, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993),
hal. 29.
[18]Duwi Narwoko & Bagong Suyanto, sosiologi Teks Pengantar dan
Terapan, Cet. 1, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 2.
[19]Harun Nasution, islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Cet. 5.
(Jakarta: UI Pers, 1985), hlm. 9.
[20]Thomas F. O’dea, sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, (Jakarta:
Raja Wali Pers, 1990), hlm.28.
Komentar
Posting Komentar